diposkan pada : 14-02-2020 18:26:52 Menyorot Kemungkinan Nasib WNI Eks ISIS Pasca Ditolak Pulang ke Indonesia

Pemerintah melalui Menkopolhukan Mahfud MD telah memberikan pernyataan resmi bahwa mereka tidak akan memulangkan 689 Warga Negara Indonesia (WNI) pelintas batas dan eks ISIS ke Indonesia. Hal ini sekaligus menjawab simpang siur pemberitaan terkait kemungkinan kepulangan WNI eks ISIS yang mengemuka beberapa waktu terakhir. 

Namun, pernyataan yang disampaikan oleh pemerintah ini juga menimbulkan sisi "kekisruhan" lain yaitu perihal bagaimana nasib "eks" WNI tersebut setelah ditolak kembali ke tanah kelahirannya. Apakah mereka akan menjadi "gelandangan" internasional dan dibiarkan "membusuk" di antah barantah, ataukah pemerintah akan mengkaji ulang keputusan untuk tidak memulangkan warga eks ISIS tersebut?

Bagaimanapun juga pemerintah seharusnya tidak bisa begitu saja berlepas diri terhadap nasib WNI yang sebelumnya memutuskan bergabung menjadi militan ISIS tersebut. Meskipun alasan pemerintah adalah lebih mengutamakan keselamatan 267 juta warga Indonesia yang lain, tentu para eks ISIS ini tidak bisa begitu saja dibiarkan. 

Pemerintah Indonesia tidak bisa berlepas tangan begitu saja. Bagaimana jika para WNI eks ISIS yang terlunta-lunta tersebut kemudian sampai berbuat aksi merugikan warga negara lain dimana mereka ditampung? 


Bukan tidak mungkin pemerintah negara bersangkutan akan menimpakan kesalahannya kepada Indonesia karena dianggap tidak becus mengurus warganya. Apapun status WNI eks ISIS tersebut, tetap saja darah mereka adalah darah orang Indonesia, DNA orang Indonesia. Lalu mungkinkah kita berlepas diri begitu saja darinya?

Kalau boleh dibilang, keputusan pemerintah tidak mau memulangkan WNI eks ISIS merupakan keputusan yang dilematis. Disatu sisi mungkin memang ada penolakan dari lingkup internal negeri ini perihal pemulangan WNI eks ISIS. Kekhawatiran bahwa mereka akan menjadi teroris yang merugikan warga negara Indonesia tentu beralasan, dan wajar kiranya jikalau penolakan semacam itu diutarakan. 

Hanya saja pemerintah Indonesia juga mesti mengambil sikap agar WNI eks ISIS atau mungkin disebut eks WNI tersebut memiliki kejelasan nasib dimasa yang akan datang. Entah mereka diproses sebagai terpidana teroris, entah mereka diperlakukan sebagai warga negara khusus, entah mereka diperlakukan sebagai WNI dalam pengawasan, ataupun sejenisnya. 

Tetapi satu hal yang paling penting adalah mereka mendapatkan kejelasan akan nasib diri dan keluarganya. Bukan tidak mungkin sanak kerabat yang pernah mereka tinggalkan dulu sebenarnya berharap mereka kembali dan berkumpul bersama lagi. 

Lalu apa yang dirasakan sanak kerabatnya tatkala mengetahui bahwa mereka yang berstatus eks ISIS itu justru kemudian menjadi terlunta-lunta nasibnya di negeri orang? Terlebih jikalau mereka membawa serta anak-anak kecil yang belum mengerti tindakan para orang tuanya.

Terkait dengan polemik ini, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menyatakan bahwa ada dua cara yang bisa ditempuh pemerintah dalam hal ini. 

Pertama, memulangkan WNI eks ISIS tersebut ke Indonesia kemudian memproses secara hukum yang berlaku di Indonesia. Kedua, berkolaborasi dengan negara lain yang warga negaranya turut menjadi bagian ISIS dan kemudian memproses mereka sesuai hukum internasional yang berlaku. Hal ini terlihat lebih bertanggung jawab untuk dilakukan daripada sekadar memberi pernyataan "Tidak akan memulangkan!". Karena permasalahan besarnya sekarang kalau tidak dipulangkan lalu apakah dibiarkan begitu saja?

Semestinya pemerintah Indonesia bisa lebih sigap menyikapi kondisi ini. Memulangkan WNI eks ISIS memang memiliki risiko besar terkait keamanan negara. Akan tetapi, tidak memulangkan mereka dan membiarkannya terbengkalai juga bukan tindakan bertanggung jawab dalam konteks keamanan global. Barangkali pemerintah Indonesia memang harus memikirkan ulang terkait sikap yang mereka ambil baru-baru ini. 

Hitung-hitungan cermat perlu disusun ulang agar bisa meminimalisir setiap potensi risiko yang akan terjadi. Saya kira pemerintah Indonesia memiliki lebih dari cukup kompetensi untuk melakukannya.       

Salam hangat,

 

seobaca