diposkan pada : 14-02-2020 17:57:51 Mengajar dan Belajar di SD Filial Semokan Ruak

Bangunan sekolah itu tampak paling modern sekaligus yang paling rusak di antara bangunan-bangunan lain. Bangunan dengan spanduk robek-robek bertuliskan "SD Filial Semokan Ruak" sebagai identitas tersebut tampak seperti bangunan SD pada umumnya: terbuat dari batu bata, dicat, beratap genting, serta berlantai ubin. Namun menjadi mencolok sebab rumah-rumah di sekelilingnya merupakan rumah adat Sasak yang terbuat dari anyaman bambu, dengan atap dari daun alang-alang kering serta alasnya berupa tanah.

Secara administrasi, Dusun Semokan Ruak berada di bawah Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara yang termasuk dalam daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Dusun ini adalah salah satu wilayah terdampak gempa bumi Lombok tahun 2018 lalu. Meskipun permukiman telah kembali normal karena sifat rumah adat Sasak yang lebih resilien, tetapi tidak dengan SD Filial Semokan Ruak yang merupakan satu-satunya sekolah di sana. Setahun setelah bencana terjadi, satu bangunan yang mulanya kelas masih dibiarkan nyaris rata dengan tanah.

Bukannya sengaja, namun pembangunan ulang dengan struktur yang sama memang sulit dilakukan dalam waktu dekat. Selain minimnya ketersediaan air, harga semen sangat tinggi hingga 2-3 kali lipat per sak. Sulitnya transportasi untuk mencapai lokasi SD turut mempengaruhi belum terlaksananya pembangunan ulang. Alhasil, rombongan belajar yang ada harus berbagi tempat.

Penampakan ruang kelas yang ambruk. Sumber: dokumen pribadi.
Penampakan ruang kelas yang ambruk. Sumber: dokumen pribadi.
SD Filial Semokan Ruak sendiri adalah "cabang" yang menginduk pada SD Negeri 4 Sukadana. Kedua SD itu memang hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer, tetapi di antaranya terbentang jurang yang dalam serta sungai yang siap meluap di musim penghujan. Selain berjalan kaki, hanya dengan sepeda motor dusun itu mampu dicapai. Itu pun, sepeda motor yang sudah dimodifikasi dan dikendarai oleh seseorang berjam terbang tinggi karena curamnya medan. Sebab kalau tidak, baik pengendara dan penumpang bisa terbang secara harfiah.

Mengajar adalah salah satu program kerja  Divisi Pendidikan Sukarelawan Ekspedisi Lombok'19. Pun begitu, tidak hanya anggota divisi pendidikan yang turut serta mengajar. Contohnya saya yang merupakan bagian dari Divisi Lingkungan. Rombongan belajar di sekolah ini hanya terdiri dari lima kelas: kelas 1, 2, 3, 4, dan 6.

Selain tidak ada kelas 5, jumlah siswa perkelas pun tidak sampai 20 siswa. Seperti kelas 3 yang hanya terdiri dari 8 siswa. Hari pertama mengajar, setiap kelas diajar tiga sukarelawan dengan lokasi yang berbeda-beda, sebagian besar di ruang terbuka karena terbatasnya ruang kelas. Namun mulai hari kedua kami sepakat untuk mengumpulkan semua siswa di satu lokal yang sama demi efektivitas.


Suasana saat pengajaran di ruang terbuka. Sumber: dokumen pribadi.
Suasana saat pengajaran di ruang terbuka. Sumber: dokumen pribadi.
Jangan dibayangkan siswa-siswa ini berpenampilan seperti siswa SD yang banyak ditemui di kota ataupun, ehem, di Jawa. Nyaris tidak ada siswa yang menggunakan sepatu -- kebanyakan dari mereka menggunakan sandal jepit berbagai warna untuk ke sekolah. Begitu pula tas. Melihat kantong kresek merah dibuat sedemikian rupa bagaikan slingbag remaja ibu kota merupakan sesuatu yang jamak.

Sebagaimana sandal jepit, pakaian yang mereka gunakan pun juga warna-warni. Bukan berarti mereka tidak ada seragam, ada, namun mereka melakukan mix and match yang tidak pakem. Yang paling saya ingat adalah bagaimana celana atau rok merah dipadukan dengan atasan pramuka -- dengan logo mulai dari DKI Jakarta, Jawa Timur, tergantung dari mana seragam sumbangan itu berasal -- sehingga tampak seperti varian Blackpink dari gerai kopi kekinian Janji Jiwa. Namun tidak jarang juga beberapa di antaranya mengenakan kaos.

Meskipun begitu, masalah semangat mereka tidak ada yang kurang. Buktinya, mereka tetap rajin berangkat ke sekolah walau untuk mengulang belajar membaca lagi dan lagi, setiap hari.

Ya, perjalanan ekspedisi ini barangkali bisa dibilang menghadapkanku pada kenyataan dari matakuliah Pembangunan Sumberdaya Manusia: bahwa jarak antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di kota-kota besar, utamanya di Jawa, dengan daerah 3T adalah sedalam jurang yang mengisolasi Dusun Semokan Ruak. Adalah hal biasa mendapati siswa kelas 4 belum lancar membaca buku. Alih-alih bacaan panjang, beberapa di antaranya bahkan masih mengeja atau bahkan belum bisa membedakan huruf 'b', 'd', 'p', dan 'q'.

Kendati demikian, tidak ada murid yang tidak bahagia. Di sekitar sekolah, juga ada warung yang dikunjungi tiap istirahat dengan harga yang terjangkau. Favorit saya pribadi adalah kerupuk dengan bihun dan saos di atasnya seharga seribu rupiah. Ah, lupa namanya. Secara formal memang SD ini tidak luas namun kebun yang mengelilinginya adalah taman bermain gratis. Di mana lagi siswa SD belajar sambil memanjat pohon jambu?

Tidak ada murid yang tidak bahagia. Tidak ada tekanan dari orang tua mereka untuk harus meraih nilai UN tertinggi agar masuk SMP favorit untuk dibanggakan di kantor ayahnya atau di kelompok arisan ibunya -- karena kebanyakan orang tua justru ingin anaknya membantu di kebun selepas SD lalu segera menikah; atau tidak pula mereka harus melihat orang tuanya sibuk ke kantor desa untuk mengutak-atik kartu keluarga agar sang anak lolos sistem zonasi -- karena hanya ada satu SMP yang bisa dijangkau, itu pun dengan medan yang lumayan seram.

Adanya satu SD yang bersifat filial ini sendiri telah merupakan kemajuan. Seperti mengutip dari salah satu pemuda saat suatu sore berkumpul di berugak: "Zaman dulu kalau mau sekolah SD harus menyeberangi jurang dan sungai yang pada saat itu belum ada jembatan. Lebih baik bodoh daripada bertaruh nyawa."

Meskipun sukarelawan dari Ekspedisi Lombok'19 yang dibawahi Komunitas "Kita Untuk Indonesia" (@kitauntukina) di sini mengajar, tetapi pada akhirnya kami juga belajar. Bukan hanya belajar bersyukur karena syukur sebaiknya tidak menunggu melihat ketimpangan di depan mata -- atau harus menunggu menyadari seberapa besar privilese yang telah dirasakan. Lebih dari itu belajar untuk bagaimana menipiskan disparitas itu sendiri dengan status kami sebagai sukarelawan yang membawa nama negara di komunitasnya.